XtGem Forum catalog
Beranda | Buku
KCB
27/04/24

DEWI ULAR 95 eps: BOCAH BERDARAH HITAM part 2

Diposting oleh Andy Palastra pada 01:51, 12-Jul-13

Di: Dewi Ular


karya: Tara Zagita

Sebuah sedan merah maroon meluncur di kegelapan malam. Irama musik jazz mengalun dalam kelembutan khasnya memenuhi ruangan dalam sedan merah itu. Agaknya si pengemudi merasa sepi berada dalam mobil sendirian, sehingga mematar musik kesukaannya sebagai penghalau kesepian. Jalur tol lancar. Sedan merah itu memilih masuk tol daripada sering terhambat kemacetan di lampu merah. Ketika berhenti di gerbang masuk tol, pemuda yang bertugas melayani ticket masuk tol sempat menatap si pengemudi sedan merah dengan senyum rasa kagum. "Busyet... , cantik banget tuh cewek?! Wajahnya napsuin!" pikir si pemuda sambil menghitung uang kembalian untuk diserahkan kepada si pengemudi sedan merah. Ketika menyerahkan uang kembalian, si pengemudi sedang merah itu mengerdipkan sebelah matanya. Senyum yang dipamerkan saat itu adalah senyum penggoda iman. Petugas penjualan ticket tol itu langsung sesak napas karena detak jantungnya menjadi sangat cepat. Debar-debar yang dirasakan begitu indah, sampai membuatnya merasa melambung sesaat. "Hay, .. ," wanita cantik yang mengemudikan Audi Quarto S warna merah maroon itu memberi sapaan setelah dilihatnya di belakang tak ada mobil lain yang mengantri. "Hmm, iya... met malem juga," sahut pemuda penjaga tol, Tulalit. "Namamu keren juga, Rickson," seraya ia menunjuk ID name si petugas tol yang terpasang di bawah jendela ruang ticket. "Iyaa, nama saya... memang ...," ia menjawab masih gugup karena debar-debur di dalam dadanya semakin kuat. "Tugas sampai pagi, ya?" "Hmm, sampai pukul 12 udah off, Tante." "Jangan panggil Tante. Jelek. Panggil ajaAudy." "Oo, iyy... iya, Tante Audy..." "Nggak usah pakai Tante." "Ooh, maaf iya deh nggak pakai." Audy tersenyum kalem tapi sangat menggoda. Karena ada mobil lain mau masuk tol juga, Audy pun segera meninggalkan pemuda bernama Rickson itu. Weess... ! Di pihak lain, Rickson merasa rugi atas kemunculan mobil lain, karena peluangnya bicara dengan wanita cantik yang menggairahkan itu hilang seketika. "Rese mobil jeep ini!" gerutunya dalam hati. "Padahal gue masih kepengen ngobrol lama ama cewek tadi, hmmm... siapa namanya? Oo, Audy. Bagus juga namanya. Kayak mobil yang dipake. Pasti dia udah punya cowok, atau malah udah married. Aah, sayang sekali... !" Di dalam mobil itu Audy pun bicara sendiri. "Boleh juga tuh cowok. Rickson, hmm... namanya nggak kampungan kok. Keren. Wajahnya juga gemesin banget. Ganteng-ganteng imut. Kayaknya tipe cowok yang patuh pada perintah mesum tuh dia, hahaha.... ! Kalau dibawa ke apartemen, mau nggak ya? Hmmm, kayaknya sih, pasti mau! Kalau nggak mau ya harus mau! Aku jadi bergairah ngebayangin dia jadi budak kemesraanku. Oohh... !" Sebuah Escudo yang meluncur tepat di belakang sedan merah itu sempat oleng dengan suara rem menjerit. Pengemudi Escudo itu rnenggeragap dan hampir saja menabrak besi pagar jalan tol ketika ia membuang arah laju mobil ke kiri. Lelaki berusia separoh baya itu tersentak kaget ketika dilihatnya mobil sedan merah maroon tiba-tiba saja memercikkan cahaya api dalam sekejap. Crlaaap... ! Kemudian sedan merah itu lenyap dan pandangan mata. Beruntung sekali pengemudi Escudo itu tidak sendirian. Ia bersama pria sebaya juga yang duduk di samping kirinya. Mereka sama-sama gaduh mempeributkan lenyapnya sedan merah tadi. Sementara jantung mereka berdebar cepat ketika mobil nyaris menabrak besi pagar jalanan. Setelah menyadari mobil dalam keadaan normal kembali, napas mereka pun menjadi lega, dada diusap berkali-kali sambil mengucap syukur berulang-ulang. Mereka sempat sibuk mencari-cari di mana sedan merah yang tadi, sedang mereka bicarakan warna merahnya yang menyolok itu. "Hay... !" Rickson terkejut melibat sedang merah itu sudah berada di sampingnya. Audy mengulurkan uang pembayaran ticket tol. Rickson ragu menerima uang itu, karena belum ada dua menit mobil merah itu memasuki gerbang tol, sekarang sudah mau masuk lagi. "Baru aja dia lewat, sekarang Udah mau lewat lagi?!" pikir Rickson terheran-heran, bahkan jelas- jelas terbengong dengan mata menatap Audy tak berkedip. "Hey, kok bengong sih?!" Teguran itu membuat Rickson menggeragap dan buru-buru mengambil uang yang disodorkan Audy. Uangnya sama dengan yang tadi, lembaran nominal seratus ribu. Rickson menghitung uang kembalian sambil sesekali melirik dan tersenyum malu. Hatinya yang berdesir-desir itu tak dapat dinikmati sepenuhnya, karena batin selalu bertanya-tanya, bagaimana mungkin sedan merah itu bisa dalam posisi mau masuk tol lagi. "Kalau dia harus putar balik arah, kayaknya nggak ada jalur putaran sepanjang tol ini. Terus, dia muter di mana, ya? Kalau dia keluar dulu lewat gerbang timur, terus memutar balik ke arah sini, dia harus memutar balik di depan sana, aaah... nggak mungkin! Memakan waktu sedikitnya 20 menit kalau menggunakan jalur gerbang timur. " "Rick, pulang bareng aku, mau?" "Hmm, eeh... boleh, tapi... tapi..." "Aku jemput kamu lima menit sebelum kamu off, ya? Okey?" "Ook... ookey, yaaa.... ya Okey." "Di mana kujemput kamu?" "Di... di..." "Di seberang sana, ya? Dekat telepon darurat." "Boo... boleh, Tante... eeh, hmm..." "Audy... !" "Iyya, Audy... !" Barangkali inilah maksud yang terkandung dalam peribahasa gayung bersambut itu. Audy melirik, Rickson tertarik. Pemuda tampan berperawakan tegap dan masih bujangan itu tak keberatan ketika Audy menawarkan- tumpangan di mobilnya. Bahkan, ketika Audy mengajak singgah ke apartemennya, Rickson pun tak menolak ajakan tersebut, meski mulanya ia berusaha untuk menghindar. Tapi itu hanya basa-basi. "Udah punya. cewek kamu, Rick?" "Udah... maksudku...-udah lama putus." "Eeh, sama dong. Waah, kayaknya kita senasib nih " "Putus juga kamu, ya? Waah, bego banget cowok yang mau mutusin kamu. Kalau aku nggak akan mau putus ama kamu," kata Rickson setelah saling buka kartu tentang usia, ternyata usia mereka sama-sama 25 tahun. Tak canggung Rickson untuk bersikap makin akrab selayaknya teman biasa. Namun bagaimana pun juga Rickson merasa masih kalah PD dari Audy. Keberanian perempuan muda itu sering membuat Rickson tersipu malu dan dihinggapi rasa minder. Apalagi setelah ia berada di dalam apartemennya Audy, cahaya lampu terang membuat segalanya serba jelas, termasuk kecantikan Audy. Audy berkulit kuning langsat, berperawakan tinggi, sekal, dengan dada montok membusung kencang: Rambutnya yang selewat pundak berpotongan shaggy disemir coklat sebagian, membuat kecantikan Audy menjadi lebih menarik lagi, seakan percampuran antara kecantikan klasik dan kecantikan ala bule Eropa. Rickson sering berdecak dalam hati manakala memandang pinggang Audy yang. ramping itu memiliki pinggul yang lebar dengan bokong padat berisi. "Kamu seorang foto model, ya?" tanya Rickson ketika Audy melangkah untuk menutup pintu balkon. Setiap melangkah pinggul dan bokongnya terayun-ayun bagai lambaian tangan yang mengajak lawan jenis untuk segera bercinta. "Kenapa kamu menyangka aku foto model?" "Pantas kalau menjadi seorang foto model Bodymu, pakaianmu, kecantikanmu, semuanya pantas dimiliki seorang model." "O,ya ...?! " Audy kembali menuju sofa dengan senyum yang mencengangkan hati Rickson. Senyuman itu bukan hanya manis, tapi juga menggoda hasrat setiap lelaki untuk berkhayal tentang kehangatan. "Jujur saja, aku bukan seorang model kok." "Atau... seorang selebritis?" "Juga bukan," jawabnya sambil meluruskan pandangan mata hingga beradu dengan tatapan Rickson. Tatapan mata itu telah membuat sentakan beruntun pada jantung Rickson. Seolah-olah ada sesuatu yang berontak dan ingin meledak dalam diri pemuda itu, namun terpaksa harus tetap ditahannya. Sesuatu yang beronta ingin meledak itu sekarang hanya bisa menyentak-nyentak. "Kalau kau mau tahu profesiku, kau harus lebih sering bertemu denganku, Rickson. Kalau perlu kau tinggal di apartemen ini bersamaku. Karena tanpa sering bertemu denganku, sulit bagiku untuk menjelaskan profesiku dan siapa diriku ini." Rickson tersenyum mendapat tantangan seperti itu. "Kalau aku tinggal di sini, bisa berbahaya." "Kenapa berbahaya?" seraya ia bergeser lebih mendekat lagi. "Kau bisa hamil nanti," Rickson memberanikan diri melempar pancingan itu. Ternyata disambut hangat oleh Audy. "Apa kau bisa menghamiliku?" "Wah, nggak tahu deh," Rickson tertawa malu. "Bagaimana kalau kita coba saja?" "Mmmhh, eeehh, maksudmu...?" Rickson nyaris tak bisa bicara, karena tatapan mata Audy semakin dekat. Mata yang sedikit lebar itu sudah menjadi sayu. Dengus napasnya menghangat di permukaan pipi Rickson. Aroma parfumnya tercium jelas dan menghadirkan debar-debar yang kian bergemuruh dalam dada. Suara Audy mulai bercampur desah. "Cobalah untuk menghamiliku. Awali dengan sentuhan bibirmu. Aku suka bibir tanpa nikotin begini," jari tangannya meraba bibir Rickson dengan pelan-pelan sekali. Rickson sedikit merenggangkan mulut. Jari Audy masuk pelan-pelan. Rickson menghisap jari itu dengan lidah bergerak lincah. Audy mendesah panjang dengan mata nyaris terpejam. "O000000uuuhhh.. . !" Lampu padam sendiri bersamaan dengan hembusan napas panjang Audy tadi. Tapi ada lampu sudut yang masih menyala dengan kap lampu berwarna ungu. Suasana remang membuat Rickson merasa semakin ditenggelamkan ke telaga asmara oleh Audy. Ia pun menggigit jari Audy tak terlalu keras. Audy berbisik sambil mendesis. "Jangan itu yang digigit..." Rickson melepaskan jari Audy. "Mana yang hams kugigit?"
BERSAMBUNG..

Bagikan ke Facebook Bagikan ke Twitter

Komentar

Belum ada komentar. Tulislah komentar pertama!

Komentar Baru

[Masuk]
Nama:

Komentar:
(Beberapa Tag BBCode diperbolehkan)

 


U-ON

OTHER LANGUAGE
| | | | |
MENU LAIN
KEMBALI KE BERANDA