Ring ring
Beranda | Buku
KCB
25/04/24

DEWI ULAR 95 eps: BOCAH BERDARAH HITAM part 4

Diposting oleh Andy Palastra pada 02:45, 12-Jul-13

Di: Dewi Ular


karya: Tara Zagita

VILLA indah milik Niko Madawi di kawasan Puncak sudah tiga hari ditinggalkan Kumala. Apalagi saat itu Rayo Pasca sudah tidak hamil lagi. Sisa jejak gaib tidak terdapat dalam perut Rayo Pasca. Oleh karena itu, Kumala memutuskan untuk membawa Dewa Jenaka ke rumahnya. "Kalau kamu masih ingin menggunakan villa itu, pakai saja. Jangan sungkan-sungkan," kata Niko ketika ditelepon Kumala. "Sesuai perjanjianku, aku hanya memakai villamu untuk mengasingkan Rayo dari pandangan umum. Sekarang Rayo sudah normal kembali, jadi aku harus kembali ke rumahku. Terima kasih banyak atas bantuanmu, Nik," "Tapi, bukankah katamu ada dewa yang kau bawa pulang ke bumi dan sekarang dalam keadaan koma?" "Iya, tapi itu bisa kuatasi di rumah. Artinya, tidak harus disembunyikan. Keberadaan fisiknya toh sama seperti manusia biasa. Tidak ada keanehan dan kelebihan, kecuali dalam darah dan auranya." Dewa bermuka tua itu ditempatkan pada sebuah kamar berukuran besar. Kamar itu memang diperuntukkan tamu-tamu khusus yang bermalam di rumah Kumala, seperti ibunya sendiri: Dewi Nagadini, atau ayahnya: Dewa Permana, atau kakeknya dan sebagainya. Kenyamanan di dalam kamar tidur itu sangat diutamakan. Bahkan dilengkapi dengan perabot 'kelas satu; ranjang dan kasurnya memang buatan dalam negeri tapi kualitas ekspor. Demikian pula satu set mebel yang diletakkan di sudut kamar. Sebuah kolam kecil berisi ikan hias dan dinding karang buatan yang selalu mengucurkan air juga melengkapi kamar tersebut. Kumala sendiri jarang tidur di situ. Sandhi, Buron apalagi Mak Bariah, tidak ada yang berani tidur di situ. Mereka hanya berani masuk untuk mengambil atau meletakkan sesuatu. Tapi pria pujaan hati, Rayo Pasca, pernah beberapa kali tidur di kamar tersebut, walau pun sebenarnya Rayo lebih suka menempati kamar tidur bersebelahan dengan ruang tamu. Kali ini Kumala membawa Audy ke kamar itu. Di atas ranjang bertiang empat namun tanpa kelambu itulah Dewa Jenaka berbaring mirip orang tertidur nyenyak.. Wajah tua itu memiliki tulang pipi sedikit menonjol dan sepasang alisnya yang berwarna abu-abu lebat hampir menyatu. Tubuhnya yang agak kurus tetap mengenakan jubah aslinya, tapi sekarang ditambah selimut tebal berwarna hijau lembut. Melihat wajah tua terbaring di ranjang dengan mulut sedikit terbuka, Audy langsung mengerjapkan matanya. Berpaling sambil menyilangkan tangan di depan mata . "Auuh.. !" "Kenapa? !" Kumala kaget. "Mataku nggak kuat melihatnya!" Audy mencoba menatap ke arah ranjang. Tapi kepalanya kembali disentakkan ke. samping sambil memejamkan mata. "Uuuh... ! Nggak kuat. Bener Mataku sakit dan perih. Duuuh, kepalaku jadi ikut sakit nih!" "Kenapa bisa begitu?!" "Silau sekali.... !! Aku di luar aja.." Kumla Dewi bergegas ikut keluar juga. Pintu kamar ditutupnya, agar udara AC yang sudah diatur temperaturnya tida.k merambah keluar . Belum sempat bertanya Kumala sudah mendengar penjelasan Audy yang disertai ekspresi wajah agak tegang. "Aku melihatnya seperti genangan cahaya putih yang sangat menyilaukan. Sumpah, aku nggak mengada-ada!" "Iya, aku percaya. Tapi kenapa bisa begitu? Bukankah kamu sudah sering melihat pengejawantahan sosok dewa?" "Masalahnya bukan itu. Bukan karena beliau dewa lantas aku menjadi silau melihatnya.. Bukan." �Lalu, karena apa?" suara Kumala tetap pelan dan kalem. "Ada sesuatu di dalam dirinya. Pasti ada sesuatu yang memancar kuat, dan nggak bisa diterima dengan mataku. Cahayanya putih seperti kertas timah. Tapi kuat sekali pancarannya. Dan, menurutku itu adalah medan gaib. Entah milik siapa." Saat tertegun hati Kumala berkata, "Aneh. Aku dan yang lainnya tidak melihat tubuh paman dewa bercahaya, kenapa penglihatan Audy berbeda, ya? Apakah karena Audy bukan dari jenis manusia atau bukan keturunan dari Kahyangan, maka matanya nggak kuat melihat aura kedewaan paman Jenaka? Hhhmmm...kasihan Audy, bola matanya sampai agak merah begitu." Setelah rasa sakit di mata dan kepala bisa diatasi sendiri dengan menyalurkan hawa gaib penyembuh, Audy pun kembali bicara penuh keseriusan. "Ada medan gaib yang melapisi auranya. Medan gaib itulah yang membuat paman Dewa Jenaka seperti orang tidur, nggak sadar, atau istilah medisnya, dalam keadaan koma." "Kenapa aku nggak bisa melihat medan gaib itu?" "Karena kau keturunan dari Kahyangan. Medan . gaib itu sepertinya memang diciptakan untuk mengelabuhi mata penghuni Kahyangan. Dan, menurutku medan gaib itu sangat kuat. Kuat sekali!" Begitu antusiasnya Audy meyakinkan Kumala sampai terkesan berapi-api dalam bicaranya. Buron yang tadinya masih tertidur menjadi bangun mendengar suara ribut-ribut. Ia pikir ada tamu yang cekcok dengan Kumala. Melihat yang bicara ternyata Audy, jelmaan Jin Layon masuk kamar lagi. Rupanya sekedar untuk ganti kaos oblong, lalu ikut nimbrung dalam pembicaraan itu. Tentunya setelah ia cuci muka dulu dan gosok gigi alakadarnya. Mendengar penjelasan ulang mengenai medan gaib, Buron akhirnya berkomentar juga. Membenarkan pendapat Audy. "Dalam perjalananku sebagai jin yang berkelana ke sana-sini, aku pernah dengar ada kesaktian yang disebut medan gaib, berguna untuk mengelabuhi mata dewa-dewi Kahyangan. Tapi aku nggak tahu apa fungsinya dan bagaimana bentuk kesaktian itu." "Kamu juga lihat cahaya medan gaib itu?" tanya Audy. "Nggak lihat tuh." "Sedikit pun kamu nggak lihat sesuatu yang ganjil dalam diri paman dewa itu?" cecar Audy, penasaran. "Nggak lihat apa-apa. Yang kulihat ya, sosok biasa,Seperti inanusia. Dan, gumpalan- gumpalan hitam di sekujur tubuh beliau." "Itu energi yang dibekukan menjadi sekeras besi baja," sahut Kumala. "Itu yang harus dihancurkan. Maksudku, dikembalikan ke bentuk aslinya." "Tapi, kenapa aku melihatnya sampai silau sekali gitu, ya? Sedangkan dia ... nggak lihat?" sambil Audy menunjuk Buron. Buron menyahut dengan tenang. "Mungkin karena aku berasal dari keturunan bangsa jin, sedangkan kamu kan dari bangsa... bukan jin, bukan manusia." Kumala dan Audy sama-sama paham maksud ucapan Buron. Rupanya Buron tidak enak hati jika harus mengatakan bahwa Audy dari jenis iblis betina yang memiliki aura berbeda dengan manusia dan jin. "Kamu punya kacamata hitam?" tanya Audy kepada Kumala. "Kacamata hitam? Buat apa?" "Setidaknya bisa kupakai untuk mengurargi ketajaman cahaya perak medan gaib itu." Mengerti maksud Audy, Dewi Ular bergegas mengambil kacamata hitam yang sering dikenakan dalam keadaan bepergian di siang hari. Setelah mengenakan kacamata hitam, Audy masuk ke kamar tadi didampingi Kumala dan Buron. "Ehhmmm ... ?!" "Masih silau?" tanya Kumala. "Masih. Tapi mendinganlah daripada tadi." "Kurang tebal warna hitamnya," kata Buron. "Pakai kacamataku saja. Lebih tebal dari itu." Buron segera pergi mengambil, kacamata hitamnya. Lalu, Audy mengenakan kacamata milik Buron yang memang lebih tebal dari kacamatanya Kumala Dewi. "Bagaimana?" "Nah, ini lebih enak buat melihat. Nggak sesilau tadi." Kacamata hitam digunakan untuk menahan cahaya medan gaib. Tapi mata gaibnya pun digunakan untuk melihat kondisi dewa berwajah tua itu. Gelombang gaib yang disalurkan melalui sepasang matanya kini dapat melihat apa sebenarnya yang ada dalam diri Dewa Bahakara itu. "Kau lihat gumpalan-gumpalan hitam itu?" tanya Kumala pelan. "Ya, ya... aku melihatnya sekarang." "Sudah kucoba menggemburnya dengan Aji Cakra Salju, tapi tidak berhasil membuatnya lumer. Dengan cara lain pun belum berhasil." "Aku boleh pegang bagian kakinya?" "Peganglah..." Audy mendekati tubuh kurus yang terbaring tanpa gerakan itu. Tapi ketika tangan Audy ingin memegang kaki dewa Jenaka, tiba-tiba ia tersentak cukup kuat, hingga mengeluarkan suara pekikan pendek tapi cukup keras. "Aauuww !!" Gubraak... ! Audy tak sempat tertangkap tangan Buron. Ia terpental dan jatuh terkapar di depan pintu kamar mandi. Audy pun mengerang dengan memegangi tangan kanannya. "Aaaauuww... !! Gilaaaa... ! Huuuuwwh... !" "Coba lihat," Dewi Ular meraih tangan kanan Audy. Ia terperanjat, Buron terperangah. Tangan itu mengalami luka bakar cukup serius pada bagian telapak tangan hingga pergelangannya. Warnanya biru kehitaman. matang. "Kenapa bisa sampai begini?!" gumam Dewi Ular yang segera memberi usapan di atas tangan yang terluka, namun tidak menyentuh. Hawa saktinya dialirkan melalui usapan tangan beberapa kali. Ekspresi wajah Audy tidak sekeras tadi. Seringainya berkurang, karena ia rasakan kesejukan yang menjamah lukanya. Berkurangnya rasa sakit seiring dengan perubahan luka yang makin lama makin pulih seperti sediakala. Untuk urusan pengobatan seperti itu, dari dulu Audy mengakui keunggulan Kumala Dewi. Memang tiada duanya. "Apa yang kamu rasakan tadi?" "Tenaga nya, seperti strom listrik tegangan tinggi," jawab Audy masih tetap memakai kacamata. Ia bertolak pinggang dengan sisa napas masih sedikit terengah-engah. Dari balik kacamatanya ia menatap ke arah dewa Jenaka. Pada saat itu Buron mencoba memegang kaki Dewa Jenaka. Tapi tak ada reaksi apa-apa yang dirasakannya. "Nggak ada apa-apa tuh," ujar Buron masih dengan berkerut dahi. Kumala ikut memegang, bahkan mendeteksi dengan getaran kesaktiannya, tapi ia juga mengaku tidak merasakan apa-apa. Audy masih diam bertolak pinggang, membiarkan Dewi Ular dan membicarakan tentang jejak gaib yang tidak ditemukan Kumala dalam diri Dewa Jenaka, sehingga tidak bisa dilacak siapa lawan yang melumpuhkan dewa Panabur Tawa itu. "Aku tahu... !" tiba-tiba Audy nyeletuk dengan suara agak keras, membuat Kumala dan Buron berpaling cepat kearahnya. Audy menjentikkan jarinya dengan bersemangat. Kliik .. ! " Ya aku tahu sekarang!" wajahnya berseri- seri, tapi kakinya melangkah keluar dari kamar. Dewi Ular dan Buron segera mengikuti.
BERSAMBUNG..

Bagikan ke Facebook Bagikan ke Twitter

Komentar

Belum ada komentar. Tulislah komentar pertama!

Komentar Baru

[Masuk]
Nama:

Komentar:
(Beberapa Tag BBCode diperbolehkan)

 


U-ON

OTHER LANGUAGE
| | | | |
MENU LAIN
KEMBALI KE BERANDA