Pair of Vintage Old School Fru
Beranda | Buku
KCB
05/05/24

DEWI ULAR 95 eps: BOCAH BERDARAH HITAM part 6

Diposting oleh Andy Palastra pada 04:57, 12-Jul-13

Di: Dewi Ular


karya: Tara Zagita

PERJALANAN malam ditempuh juga, karena esok hari ada urusan bisnis yang tak bisa ditangguhkan. Jaguar warna silver itu dikemudikan sendiri oleh Pramuda. Ia sengaja tak menggunakan sopir pribadi, karena ia merasa puas jika bisa membawa keluarganya berlibur tanpa bantuan seorang sopir. Mereka pulang berlibur dari villanya yang ada di kawasan perkebunan teh. "Capek, Pa?" tanya Emafie, istri tercintanya Pramuda. "nggak" "Kalau capek biar ganti aku yang stir." "Nggak usah. Selama bersama keluarga aku nggak pernah ada capeknya disuruh apa saja. Apalagi disuruh naik turun ranjang .." "Huuuhh.. !" Emafie yang cantik itu mencubit lengan suaminya . Mereka Berani bercanda begitu karena mereka tahu anak mereka sudah tertidur di jok belakang, dipangkuan baby sitter Anifa, yang juga sudah tertidur. Mereka kecapekan setelah seharian bermain di perkebunan teh yang berhawa sejuk itu. Dahulu sebelum Pramuda menjadi orang sukses seperti sekarang ini, ia pernah menemukan seorang gadis yang kehujanan di jalan tol. Gadis itu dibawanya pulang, dirawatnya dengan baik, dan ternyata gadis itu sangat cantik. Waktu itu Pramuda belum menikah dengan Emafie. Namun entah mengapa Pramuda tak berani jatuh cinta pada gadis itu. Yang ia rasakan hanya persaudaraan begitu dalam, sehingga gadis itu sampai sekarang menganggap Pramuda adalah kakak angkatnya., Gadis itu tak lain adalah Dewi Ular, alias Kumala Dewi, (Baca serial pertama Dewi. Ular dalam episode: "Roh Pemburu Cinta"wink. Menjelang pukul sembilan hujan turun. Tidak terlalu deras, tapi angin yang bertiup cukup kencang. Lewat sorot lampu mobil dapat terlihat butiran hujan terhempas ke sana-sini. "Hati-hati aja, Pa... Jalanan licin," Emafie mengingatkan suaminya. Meski tak ada jawaban, namun Emafie yakin suaminya mau mendengar sarannya. Kecepatan mobil memang berkurang sedikit. Tapi Emafie merasakan ada sesuatu yang mengganjal di parasaannya. "Perasaanku kok nggak enak, ya Pa?" "Kamu mikir apaan sih? Jangan macem- macemlah. Tidur aja." Emafie diam. Tapi ia mengusap tengkuknya sambil berkata pelan, seakan bicara pada diri sendiri. "Kenapa aku jadi merinding sih.?" Pramuda mengurangi temperatur AC, karena disangkanya Emafie merinding karena udara AC terlalu dingin. Tetapi toh saat itu Emafie masih merinding juga. Hampir tiga menit sekali badannya bergidik merinding. Dan, ia tak mau bilang pada suaminya karena tak ingin sang suami terganggu konsentrasinya. Ternyata diam-diam Pramuda juga mengalami kegundahan dalam hati. Kegundahan itu timbul akibat jalanan yang sepi dan hujan yang makin deras. Pemandangan yang ada di kanan-kiri jalan hanya pohon- -pohon liar berukuran besar. Seperti hutan beringin. Akar-akar pohon sebesar lengan orang dewasa bergelantungan dengan jumlah tak dapat diperkirakan. Anehnya, semua pohon yang ada di pinggiran jalan adalah dari jenis pohon beringin. Daunnya rindah, akarnya bergelantungan, batang pohonnya pun berkerut-kerut dalam ukuran besar. "Kayaknya waktu berangkat kita nggak lewat sini deh, Pa." Emafie juga memperhatikan keganjilan itu. Pramuda bersikap tenang supaya istrinya tak ikut tegang. "Kita lewat jalan alternatif secara nggak sengaja. Mungkin tadi mestinya kita belok ke kanan, bukan lurus aja." "Papa udah pernah lewat sini?" "Kayaknya sih udah," jawab Pramuda berbohong. Padahal ia sendiri tak tahu, tembus ke mana jalan yang baru ia lewati pertama kali ini. Pramuda sengaj a menyimpan kecemasan dalarn hatinya. "Nggak ada mobil satu pun yang berpapasan?" pikir Pramuda. "Di belakang juga nggak ada mobil lain yang searah denganku. Hmmrn, kayaknya bener-bener salah jalan nih. Harus mutar ke mana, ya?" Di tengah jalan terdapat jalur pemisah dari pagar besi. Jalur yang dilalui saat itu hanya untuk satu arah. Jalur yang berlawanan arah ada di seberang sana. Tapi untuk memutar balik ke arah berlawanan sangat tidak mungkin dilakukan, karena Pramuda tak menemukan jalur untuk putar balik arah . Pagar besi tebal memanjang memagari pemisah jalur. "Wah, gawat! Kayaknya jalan ini nggak wajar nih...," bisik hati Pramuda semakin' cemas. Tapi penampilannya tetap tenang agar istrinya tak terpengaruhi oleh kecemasan itu. "Ada yang nggak-beres nih kayaknya," Emafie pun ternyata memendam kecemasan yang sama. Ia mulai berdoa. Apa saja doa yang ia ingat ia ucapkan dalam hati . Hujan sedikit reda. Tak terlalu deras. Sedikit lega hati Emafie. Tapi pemandangan hutan beringin yang masih asing bagi mereka masih tetap menggelisahkan hati. Lebih- lebih suasana lengang jalanan itu telah membuat Pramuda menarik napas, karena dalam logika pikirannya, tidak mungkin jalanan bisa sebegitu sepinya, tanpa satu pun kendaraan yang melintas selain mobil Jaguarnya. "Ada kabut. . ?!" gumam hati Pramuda "Semakin aneh tempat ini." Kabut tipis menyelimuti jalanin beraspal. Tak terlalu tinggi. Sekitar setengah meter dari permukaan aspal. Tetapi kabut di kanan dan kiri jalan tampak tebal. Kabut itu menutupi separoh pohon besar yang tumbuh bagaikan hutan angker. "Adhella masih tidur, Ma?" Pramuda mencoba mengalihkan suasana agar istrinya tak hanyut dalam kecemasan. Ia yakin sang istri juga sedang menyembunyikan kecemasan, batin, karena dari tadi sebentar-sebentar berpaling memandangi suasana sekitar dengan heran. Emafie menengok ke belakang. "Masih. Sama nyenyaknya dengan susternya." "Syukurlah... ," ucap Pramuda sambil menghembuskan napas lega. "Pa...," suara Emafie mulai mencurigakan hati Pramuda. Agaknya apapun yang akan diketahui Emafie, Pram harus siap menanggapinya.. "Kabutnya makin tebal, ya Pa?" "Iya. Maklum habis hujan." " Tapi kayaknya kita salah jalan, Pa. Terlalu jauh." "Aku sedang cari jalur putaran, buat putar balik." Emafie diam, merasa bersyukur dalam hati karena suaminya menyadari hal itu. Pramuda pun diam, tak mau memperpanjang masalah supaya sang istri tidak terlalu tegang. "Ada orang di tengah jalan, Pa! Hati-hati!" Pramuda sedikit kaget, tapi segera dapat menguasai diri. Ia juga melihat seseorang berdiri di tengah jalan. Di antara gumpalan kabut yang menutupi separoh betisnya. Orang itu tampak melambaikan tangan di atas kepala, menyilang-nyilangkan kedua tangan dengan maksud agar mobil yang menyorotkan lampu jauh itu. berhenti. "Hati-hati, Pa. Jangan-jangan dia orang nggak beres:" "Tenang aja, aku mengerti apa yang harus kulakukan!" Rupanya orang itu berdiri di pertigaan jalan. Ia seorang lelaki tua berambut panjang warna putih dengan pakaian warna putih lusuh, basah kuyup. Ia melambai- lambaikan kedua tangannya sambil yang satu memegangi caping tudung kepala dari anyaman pandan. "Apa maksud Pak Tua itu, ya?" gumam Pramuda sambil sedikit demi sedikit mengurangi kecepatan mobilnya. "Jangan berhenti. Siapa tahu dia kawanan perampok!" Pramuda tidak berkomentar. Ia berpikir sendiri, mempelajari situasi dengan pertimbangan otaknya. Menurutnya, lelaki setua itu tak mungkin menjadi kawanan perampok. Tapi bagaimana pun juga ia tetap harus waspada, sebab kejahatan kadang tidak mempertimbangkan usia tua maupun muda. Semakin pelan laju mobil Jaguar silver itu. Semakin tampak jelas wajah pak tua yang mengucapkan kata--kata namun tak terdengar. Hanya mulutnya saja yang tampak bergerak-gerak. Tapi kedua tangan lelaki itu kini terayun ke arah kiri, seakan menyuruh Pramuda berbelok ke arah kiri. Bahkan dengan sedikit membungkuk sopan lelaki tua itu menggunakan bahasa isyarat agar Pramuda mengarahkan mobilnya ke jalan sebelah kirinya. "Dia melarang kita lurus terus, Ma. Bagaimana ini?" "Aneh. Tiba-tiba aku kasihan sama orang itu. Naluriku berkata lain. Kita harus belok ke kanan, Pa." "Kita ikuti perintah dia?" "Hmmm, ya! Ikutin saja." "Kalau di jalan itu ternyata dia sudah siapkan komplotannya buat menghadang kita, bagaimana?" "Hmmm, kayaknya nggak deh. Naluriku mengatakan, dia orang baik. Entah kenapa aku jadi nggak curiga lagi sama dia . Ikuti aja petunjuk Pak Tua itu, Pa." Dari dulu Pramuda mempercayai naluri istrinya. Ia sangat yakin bahwa feeling perempuan biasanya tajam dan tepat sasaran. Oleh sebab itu, dengan membunyikan klakson dua kali sebagai tanda terima kasih, Pramuda membelokkan mobilnya ke arah kanan. Jalanan itu tanpa kabut. Tapi masih lengang tanpa kendaraan lain. Jika Pramuda memaksakan diri untuk tetap terus, maka jalanan di sana masih berkabut. Keadaan jalan yang tanpa kabut inilah yang membuat hati Emafie mempercayai petunjuk pak tua tadi. "Gila. Sudah pukul sepuluh belum masuk Jakarta,Pa?" "Sebentar lagi kita sampai," jawab Pramuda, dengan masih tetap berusaha membuat tenang hati sang istri. "Hey, lihat .... ?! Jalanan kering?!" Emafie bersuara sedikit keras, karena ia sempat terperanjat dan merasa sangat heran. "Busyet?! Kering krontang?!" gumam Prarnuda "Di sini nggak ada hujan dan nggak ada kabut sedikit pun, Ma." "Aneh banget? Tadi di sana hujan deras dan kabut makin tebal saja, Lagipula... coba perhatikan kanan kiri jalan." "Iya, ya...? Sudah nggak ada pohon besar yang rnenakutkan seperti di sana tadi. Naah, itu ada mobil dari depan! Tadi satu pun nggak ada kendaraan yang berpapasan dengan kita? !" Mobil lain pun tampak menyorotkan lampunya dari arah belakang. Lewat kaca spion Pramuda dapat melihat lampu mobil belakang berkedap-kedip memberi tanda ingin melintas lebih dulu. Pramuda sedikit menepi, mobil dari belakang pun menduluinya. "Nah, kok mobil itu kering, Pa? Nggak basah kayak mobil kita?!" Wuuueeng... ! Mobil lain menyalipnya. Mobil itu juga kering. Tanpa air hujan setetes pun.. Makin lama makin banyak mobil yang menyalip maupun yang berpapasan dengan Jaguar silver itu. Suasana di kanan-kiri jalan juga semakin ramai, Banyak rumah penduduk yang masih tampak belum tidur penghuninya. Tanaman yang tumbuh pun sudah beraneka jenis, termasuk pohon pisang yang umum ditanam penduduk. "Kalau begitu kita tadi benar-benar tersesat, Pa Tersesat ke alam yang nggak jelas penghuninya."
BERSAMBUNG..

Bagikan ke Facebook Bagikan ke Twitter

Komentar

Belum ada komentar. Tulislah komentar pertama!

Komentar Baru

[Masuk]
Nama:

Komentar:
(Beberapa Tag BBCode diperbolehkan)

 


U-ON

OTHER LANGUAGE
| | | | |
MENU LAIN
KEMBALI KE BERANDA