Beranda | Buku
KCB
23/04/24
MENU LAIN
CERITA
DEWI ULAR 95 part 1
DEWI ULAR 95 part 2
DEWI ULAR 95 part 3
DEWI ULAR 95 part 4
DEWI ULAR 95 part 5
12»
Tags: Perang Bubat

PERANG DI BUBAT part 4

KPH

4.
ALANGKAH murkanya Sang Prabu Lingga Buana mendengar laporan patihnya karena merasa betapa kedudukannya direndahkan orang.
Sabdanya dengan marah.
"Ya Jagat Dewa Batara! Mengapa dijatuhkan percobaan sehebat ini kepada hamba? Para pahlawanku sekalian.
Memang semenjak kalian berangkat ke Majapahit, telah ada perasaan tidak enak dalam hatiku
tanda akan adanya bahaya mendatang.
Kita harus bersiap sedia menjaga datangnya segala kemungkinan.
Betapapun hati seorang ayah menyinta puterinya, akan tetapi bagi seorang satria, kehormatan lebih besar artinya.
Lebih baik hancur-lebur tubuh ini daripada menyerah dalam kehinaan!
Persiapkanlah seluruh balatentara, kita menanti datangnya serbuan dari Majapahit! Demi keluhuran Sunda Galuh kita lawan mereka mati-matian!"
"Hamba rela dan bersedia membela
Sunda Galuh sampai hancur tubuh hamba!" seru Patih Anepaken.
"Hamba bersedia membela Sunda Galuh sampai titik darah yang penghabisan!!" Sakri ikut berseru dengan penuh semangat.
Prabu Lingga Buana menjadi terharu sekali, terutama mendengar seruan Sakri yang hendak membela Sunda Galuh sampai titik darah penghabisan!
Bagi Patih Anepaken dan yang lain-lain, hal ini tidak mengherankan dan bahkan sudah selayaknya, karena mereka adalah orang-orang Sunda Galuh.
Akan tetapi, bukankah Sakri seorang Jawa? Maka sabdanya perlahan,
"Sakri, sudah yakin benarkah hatimu bahwa kau hendak mengurbankan jiwa ragamu untuk Semua orang memandang ke arah pemuda yang gagah perkasa ini, dan Sakri juga maklum ke mana maksud pertanyaan Sang Prabu Lingga Buana itu. Sembahnya,
"Gusti, hamba adalah seorang laki-laki yang menjunjung tinggi sifat satria utama.
Semenjak kecil, ayah hamba telah menggembleng hamba dengan ajaran yang luhur dari Sri Kresna yang bijak dan waspada.
Sekali hamba bersuwita, maka hamba akan setia sampai mati!"
Semua orang terharu mendengar ini, dan mereka lalu bersiap sedia menjaga datangnya serbuan dari
Majapahit.
Patih Gajah Mada mendengar pula dari para penyelidik akan sikap prabu Lingga Buana dari Sunda Galuh.
Ia maklum bahwa demi membela
kehormatan masing-masing, maka
pertempuran takkan dapat dielakkan lagi.
Maka ia lalu menghadap kepada Prabu Hayam Wuruk untuk minta keputusan dan perkenan akan maksudnya menggempur barisan Sunda Galuh di Bubat.
Sang Prabu Hayam Wuruk menghela napas panjang karena merasa berduka dan kecewa bahwa persoalan menjadi demikian panas dan meruncing.
Akan tetapi, sebagai seorang raja, iapun harus mempertahankan kehormatan kerajaannya.
Dimintanya agar Patih Gajah Mada mencoba membereskan persoalan ini dengan jalan damai dan membujuk Sang Prabu Lingga Buana untuk berdamai dan sudi mengalah, Patih Gajah Mada setelah menyatakan kesanggupannya, lalu mengerahkan sejumlah perajurit yang besar untuk pergi ke Bubat.
Sebetulnya Patih Gajah Mada juga ingin membereskan kesalah-pahaman ini dengan cara damai.
Akan tetapi, hal ini telah diketahui pula oleh Wijayarajasa, maka Raja Wengker ini lalu mengutus beberapa puluh orang suruhan, yang ini terdiri dari orang-orang jahat yang sanggup menjalankan perintah apa saja asal mendapat upah besar.
Begitu tiba di Bubat, mereka menyerang orang-orang Sunda Galuh dan setelah membunuh beberapa orang yang tak berjaga-jaga, mereka lalu melarikan diri.
Ributlah keadaan di Bubat dan semua orang Sunda Galuh mendengar bahwa beberapa kawan dari Sunda Galuh telah terbunuh oleh orang-orang Majapahit! Maka memuncaklah kemarahan mereka hingga ketika barisan Gajah Mada tiba, tanpa banyak cakap lagi barisan Sunda Galuh lalu menyerang!
Dan segeralah terjadi perang tanding yang hebat dan dahsyat di Bubat! Peperangan ini terkenal dengan sebutan Perang Bubat dan sampai lama menjadi kenangan orang.
Darah membanjir di lapangan Bubat
yang luas.
Rumput yang tadinya tumbuh segar, menjadi kering dan mati kena injak kaki orang dan kuda.
Warna lapangan yang tadinya hijau segar menyedapkan mata, kini berubah merah oleh darah, darah perajurit-perajurit Majapahit dan Sunda Galuh! Keris dan tombak berkilauan mengamuk menenbus perut dan dada.
Pekik dan teriak menggegap-gempita dan debu mengepul ke angkasa membuat sinar matahari
menjadi pucat.
Kehebatan peperangan di lapangan Bubat ini tiada kalah hebatnya dengan peperangan mahabesar yang disebut Bharatayuda di lapangan Kurusetra! Ribuan perajurit gagah-perkasa tewas di
ujung senjata.
Panglima-panglima kedua fihak yang muda, tampan, dan perkasa, gugur bagaikan ratna dalam perang itu!
Sakri mengamuk dengan hebatnya
bagaikan seekor banteng sakti mencium darah kawannya! Tubuhnya penuh dengan darah lawan. Berpuluh-puluh orang tewas dalam tangannya.
Setiap kali tangan kanannya yang memegang keris bergerak, robohlah seorang perajurit Majapahit, dan tiap kali kepalan tangan kirinya diayun, pecahlah kepala seorang manusia yang menghalang di depannya!
Perajurit-perajurit Majapahit menjadi agak kocar-kacir menjauhi sepak-terjang pemuda yang luar biasa ini, bagaikan serombongan semut didekati api.
Para perajurit dan panglima Sunda Galuh karena merasa telah jauh dari negaranya, berperang mati-matian dan nekat hingga tak terhitung banyaknya perajurit Majapahit yang tewas.
Melihat kehebatan sepak-terjangnya
perajurit-perajurit dan panglima-panglima Sunda Galuh, Patih Gajah Mada menjadi marah.
Ia mendatangkan bala bantuan yang besar jumlahnya, dan diantara bala bantuan yang tiba, nampak seorang pemuda yang berpakaian sebagai seorang pemuda petani sederhana.
Menurut laporan pemimpin barisan yang baru tiba, pemuda ini menyatakan hendak ikut membela Majapahit dan ikut menghalau musuh.
Gajah Mada lalu memanggilnya
menghadap.
"Hai, anak muda yang muda rupawan.
Siapakah kau dan mengapa kau yang semuda ini hendak ikut pula
beryuda?"
Dengan suaranya yang halus dan tutur katanya yang sederhana, pemuda itu menyembah dan berkata,
"Hamba bernama Saritama dari Gunung Kidul, Gusti Patih.
Dalam perantauan hamba, hamba mendengar bahwa seorang panglima Sunda Galuh yang bernama Sakri amat digdaya dan sukar dilawan.
Maka apablia Gusti Patih memberi
perkenan, hamba hendak mencoba
melawan panglima Sunda Galuh yang sakti itu." Patih Gajah Mada terkejut.
Memang iapun telah menyaksikan sendiri kesaktian Sakri pahlawan Sunda Galuh itu dan telah mengambil keputusan untuk menghadapinya sendiri oleh karena anak buahnya tidak kuat menghadapi amukan Sakri.
Akan tetapi, tiba-tiba seorang pemuda dusun telah mengajukan diri hendak menandingi Sakri!
"Cukup kuatkah pundakmu memikul beban ini?" tanyanya dan Patih Gajah Mada melangkah maju
mendekati pemuda yang masih duduk bersila di depannya itu.
Ia gunakan kedua tangan untuk menekan kedua bahu Saritama dan pemuda itu maklum bahwa Sang Patih sedang mencoba kesaktiannya, karena terasa olehnya betapa sepasang tangan sang Patih itu bagaikan dua buah batu besar yang beratnya luar
biasa menekan dan menindih pundaknya!
Saritama tersenyum dan berkata,"Hamba rasa beban ini tak cukup berat, gusti!" Dan diam-diam ia mengerahkan tenaganya ke arah dua pundak yang tertekan.
Patih Gajah Mada merasa terkejut dan berbareng kagum ketika merasa, betapa kedua pundak pemuda itu tiba-tiba menjadi kaku keras bagaikan baja dan dapat menahan tekanan kedua tangannya dengan mudah! Tertawalah Sang Patih.
"Bagus, Saritama.
Kau benar-benar pantas disebut Pendekar Gunung Kidul.
Maju dan lawanlah Sakri, aku membekali doa restu padamu."
Saritama bertubuh sedang dan berkulit putih kuning.
Wajahnya tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar gemilang. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan dadanya terbuka telanjang.
Telinga kirinya digantungi sebuah anting-anting perak yang mengeluarkan sinar aneh.
Senjatanya hanya sebilah keris kecil luk tiga yang diselipkan dalam sarung keris di pinggangnya.
Gerak gayanya perlahan dan lemah lembut, akan tetapi tindakan kakinya cepat sekali ketika ia maju kemedan perang.


PARA perajurit yang melihat majunya seorang pemuda bertelanjang dada tanpa memegang senjatapun di tangan, merasa sangat heran dan untuk sejenak perajurit-perajurit Sunda Galuh menjadi ragu-ragu.
Mereka merasa tidak tega menyerang seorang pemuda yang demikian tampan dan yang maju kemedan pertempuran dengan senyum manis di bibir.
Tiba-tiba seorang perajurit Sunda Galuh maju dengan tombak di tangan. Ia tidak perduli dengan sikap pemuda itu.
Siapapun juga orangnya yang sudah maju kemedan perang dan berada di fihak Majapahit, berarti musuh mereka yang harus dibasmi!
Akan tetapi Saritama menghadapi perajurit itu dengan tenang.
Ketika tombak itu meluncur hendak
ditusukkan ke arah dadanya, pemuda ini perlahan sekali memiringkan tubuh dan sekali tangannya bergerak miring, tombak itu patah!
"Sabarlah, aku tak hendak bertempur dengan kalian!" katanya. "Tunjukkanlah dimana adanya Sakri pahlawan besarmu, karena hanya dengan dia saja aku mau bertemu!"
Masih ada dua tiga orang perajurit yang merasa gemas dan menyerang, akan tetapi dengan cara sederhana dan mudah, semua senjata yang menyerangnya dapat dibikin patah!
Anehnya, sedikitpun pemuda itu tidak mau membalas serangan atau menyakiti lawannya!
Demikianlah, Saritama terus maju
mencari-cari Sakri.
Akhirnya, ia bertemu juga dengan Sakri yang sedang mengamuk dan yang kini berdiri dengan tangan kanan memegang keris dan tangan kiri bertolak pinggang karena sudah tidak ada lawan yang berani melawannya lagi! Gagah dan hebat bagaikan Raden Abimanyu mengamuk di lapangan Kurusetra.
Ketika melihat seorang pemuda keluar dari fihak Majapahit, Sakri segera lari menghampiri dengan keris di tangan.
Akan tetapi, setelah melihat orangnya yang datang, tiba-tiba tubuh Sakri terasa lemas, dadanya berdebar dan tangan yang memegang keris menggigil.
"Dimas Saritama.......!"
"Kakang Sakri!"
Mereka berdua hanya dapat mengeluarkan kata-kata ini dan berdiri berhadapan saling pandang.
Terharu, kecewa, girang, dan duka bercampur-aduk di dalam hati masing-masing, membuat mereka berdua tak kuasa berkata-kata.
Tanpa disadari Sakri memasukkan kerisnya kembali ke dalam sarung keris.
Akhirnya Saritama yang lebih dulu memecah kesunyian yang menyelubungi mereka berdua,
"Kangmas, kangmas Sakri, kau..... kau telah menjadi seorang pengkhianat?"
Sakri terkejut mendengar ini. Tadinya ia telah ingin menubruk, memeluk dan menciumi adiknya yang terkasih ini, akan tetapi oleh karena mereka bertemu dalam keadaan bertentangan, ia tidak dapat melakukan hal ini.
Pada saat itu, Saritama adalah seorang musuh, musuh Sunda Galuh yang berarti musuhnya pula!
"Tidak, Saritama!" jawabnya, "aku bukan seorang pengkhianat!"
"Kau tidak merasa menjadi seorang
pengkhianat, akan tetapi kau telah
melawan Majapahit. Kalau begitu, apakah selain menjadi seorang pengkhianat, kangmas Sakri juga telah berubah menjadi seorang pengecut yang tidak berani mengakui dosa sendiri?"
"Saritama! Kau adikku yang kucinta,
janganlah mulutmu begitu kejam
menjatuhkan fitnah keji terhadap
kakakmu sendiri! Kalau bukan kau yang mengucapkan kata-kata ini pasti telah kubinasakan kau!"
"Sakri! Pada saat ini janganlah kau anggap aku sebagai seorang adik. Kalau kau hendak membinasakan aku pula, lakukanlah, wahai manusia sesat dan gelap mata! Hendak kulihat sampai dimana kekejamanmu."
"Saritama," kata Sakri dengan hati perih, "aku bukan seorang pengkhianat, juga bukan seorang pengecut seperti yang kau duga. Aku sadar dan yakin bahwa perjuanganku ini suci dan benar.
Ketahuilah, aku seorang panglima Sunda Galuh, seorang hamba Sunda Galuh yang telah lama bersuita di depan Sang Prabu Lingga Buana dan yang telah banyak menerima budi kerajaan Sunda Galuh. Aku telah bersumpah untuk setia dan membela Sunda Galuh sampai titik darahku yang penghabisan, yang memang sudah selayaknya menjadi cita-cita seorang satria utama! Dengarlah, wahai anak muda, kalau aku melanggar sumpah dan kesetiaanku terhadap kerajaan di mana aku menghambakan diri dan aku tidak menghancurkan fihak Majapahit yang telah menjadi musuh Sunda Galuh yang hendak menjaga kehormatan, bukankah aku
menjadi seorang pengkhianat dan
pengecut sebesar-besarnya di dunia ini?"
"Tapi lawanmu adalah bangsa dan darah dagingmu sendiri!" bantah Saritama.
"Di dalam yuda, tidak ada hubungan apa-apa, yang ada hanyalah lawan dan kawan.
Siapa saja adanya dia yang berdiri di fihak musuh, dialah lawan yang harus dimusnahkan. Cita-cita seorang perajurit utama hanya tunggal, yaitu membasmi musuh dan membela negara serta taat kepada perintah yang menjadi
junjungan. Aku melakukan semua ini dengan penuh kesadaran. Saritama, perjuanganku suci dan tanpa pamrih, karena aku hanyalah menunaikan tugasku sebagai seorang perajurit. Kalau kau bukan perajurit Majapahit, menyingkirlah Saritama, dan jangan kau menghalangi perjuanganku yang suci.
Kelak, kalau aku tidak terbinasa di ujung senjata lawan, akan kuceritakan kepadamu tentang semua ini." Saritama tersenyum.
"Sakri, kau tenggelam dalam kesombonganmu sendiri! Kaukira bahwa seluruh perajurit yang bertempur mengadu tenaga ini hanya boneka-boneka belaka? Bahwa hanya kau seorang yang memiliki jiwa satria utama?
Ketahuilah, wahai panglima Sunda Galuh yang gagah perkasa, bahwa aku Saritama juga seorang perajurit Majapahit.
Majulah, karena akulah lawanmu!"
"Duh Jagat Dewa Batara!" Sakri mengeluh, "mengapa aku harus menjatuhkan tanganku kepada adikku sendiri?"
"Sakri, ingatlah akan kata-katamu tadi, kita perajurit sama perajurit.
Terima kasih atas pelajaranmu tadi yang membuat hatiku merasa lebih lapang untuk mengadu kerasnya tulang tebalnya kulit denganmu.
Mengapa ragu-ragu?"
"Aduh, adikku Saritama..... Kau yang telah lama kurindukan! Tak ada jalan lainkah yang dapat kita ambil? Aku tidak tega menjatuhkan tanganku di atas kepalamu yang kukasihi, Saritama....... kasihanilah kakakmu dan mundurlah."
"Manusia lemah, mana sifat satria yang kau sombongkan tadi?"
Sambil berkata demikian, Saritama
melangkah maju dan menyerang dengan pukulan tangannya.
Sakri mengelak lemah, akan tetapi Saritama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan gerakan cepat itu sudah menyusul dengan pukulan kedua hingga dada Sakri kena pukul dan panglima itu jatuh tersungkur!
"Sakri bangunlah! Mari kita bertempur seperti perajurit-perajurit sejati!
Saritama membentak marah karena gemas melihat betapa lawannya itu tidak membalas.
Mendengar ucapan ini dan merasa betapa pukulan Saritama kuat dan berat, bangkitlah semangat Sakri.
Serentak ia melompat berdiri dan
menggeram keras, "Baiklah, Saritama.
Mari kau pertahankan serbuan
seorang satria Sunda Galuh!" Maka ia lalu menyerang dengan hebatnya. Kedua teruna remaja yang sama
tampan sama gagah itu, kakak beradik yang setelah lama berpisah kini bertemu dimedan yuda menjadi lawan, berkelahi mati-matian!
Keduanya sama kuat, sama cepat, dan sama digdaya.
Pukul-memukul, tendang-menendang, hempas-menghempas hingga debu mengebul dari tanah yang mereka pijak.
Perkelahian ini demikian
hebat dan seru, sehingga para perajurit Majapahit dan Sunda Galuh yang sedang bertempur di dekat tempat kedua kakak-beradik ini beryuda, menghentikan pertempuran mereka dan menonton perkelahian ini dengan kagum!
Sakri dan Saritama bertempur bagaikan dua ekor harimau berebut kelinci.
Sepak terjang Sakri bagaikan Gatotkaca yang menyambar-nyambar dengan hebatnya, kuat dan cepat gerakannya.
Sedangkan Saritama yang lebih halus gerak-geriknya itu bagaikan Raden Angkawijaya yang biarpun bergerak lemah-lembut, akan tetapi selalu tepat cekatan.
Tak banyak bergerak dalam mengelak sebuah serangan, dan setiap pukulan yang dilancarkan, biarpun kelihatannya dilakukan dengan perlahan, namun
mengandung tenaga yang cukup besar untuk menghancurkan kepala seekor banteng!
Pertempuran itu berjalan seru dan lama hingga para perajurit kedua fihak bersorak-sorak membela jago
masing-masing.
Baik Sakri, maupun Saritama keduanya merasa betapa berat dan kuat orang yang menjadi lawannya.
Sakri diam-diam merasa kagum dan girang melihat kehebatan adiknya, akan tetapi oleh karena pada saat itu adiknya menjadi seorang Majapahit, terpaksa harus dibinasakan!
Sakri menggertak gigi untuk menguatkan hatinya, kemudian ia mencari kesempatan.
Ketika kesempatan yang di nanti-nanti itu tiba, cepat bagaikan petir menyambar ia mengirim pukulan tangan kanan yang disertai Aji Kelabang Kencana yang bukan main
dahsyatnya! Pukulan sakti ini tepat
mengenai pangkal telinga
Saritama dan tubuh Saritama terpental jauh lalu jatuh di atas tanah tanpa daya!
Kalau saja yang terkena pukulan itu bukan Saritama, Satria Gunung Kidul yang telah digembleng secara hebat oleh ayahnya, pasti akan tewas disaat itu juga.
Akan tetapi, Aji Kelabang Kencana mempunyai kesaktian luar biasa hingga biarpun tidak tewas, namun tubuh Saritama telah menjadi bengkak-bengkak dan matang biru!
Pemuda ini merangkak bangun dan mukanya yang tampan kini telah menjadi tidak karuan macamnya, bengkak-bengkak hingga kedua matanya hampir tak nampak lagi.
Bukan main rasa sakit yang diderita oleh Saritama, akan tetapi satria ini menguatkan tubuh dan hatinya dan hanya sedikit keluhan terdengar dari mulutnya yang bengkak-bengkak itu.
BERSAMBUNG

Back to posts
Comments:
[2018-04-26 15:24:03] Shareogiz :

Finasteride Ot Propecia <a href=http://cialibuy.com>cialis</a> 60 Mgs Dapoxtine With Levitra Combining Metronidazole And Amoxicillin Avis Site Achat Cialis


UNDER MAINTENANCE
Browsser [ Mozilla/5.0 ]
IP [ 18.218.184.214 ]
Negara [ United States ]
Online [ 1 ]


U-ON

OTHER LANGUAGE
| | | | |

Pengunjung Harian [ 1 ]
Total Pengunjung [ 10862 ]
KEMBALI KE BERANDA


Ring ring