Insane
Beranda | Buku
KCB
19/04/24
MENU LAIN
CERITA
DEWI ULAR 95 part 1
DEWI ULAR 95 part 2
DEWI ULAR 95 part 3
DEWI ULAR 95 part 4
DEWI ULAR 95 part 5
12»
Tags: Perang Bubat

PERANG DI BUBAT part 5 (SELESAI)

KPH

5.
"Aduh, Rama panembahan, tak kusangka Saritama akan tewas dalam kakangmas Sakri sendiri....."
Kemudian ia merangkak bangun dan berseru keras kepada Sakri.
"Panglima Sunda Galuh, janganlah berlaku kepalang-tanggung, majulah dan padamkanlah apiku kalau kau memang seorang satria!"
Semenjak ia memukul Saritama dengan Aji Kelabang Kencana dan melihat betapa adinda yang dikasihinya jatuh berguling dengan tubuh dan muka bengkak-bengkak mengerikan, lenyaplah seketika itu
juga semangat bertempur dalam dada Sakri. Ia merasa ngeri dan kasihan sekali.
Apalagi setelah mendengar Saritama mengeluh dan menyebut ramanya, hancur luluh perasaan Sakri.
Ramanya dulu pernah berkata bahwa kelak ia harus mewakili rama-ibu dan mendidik serta menjaga Saritama, akan tetapi sekarang, dia sendiri telah berusaha sekuasanya untuk membinasakan adindanya itu!
Tak tertahan lagi rasa terharu yang
melemahkan hatinya. Ia lalu menubruk maju sambil memekik,
"Adimas Saritama......"
Saritama hendak mengelak, akan tetapi oleh karena tubuhnya telah menjadi lemah dan sakit-sakit, ia tak kuasa melepaskan rangkulan kakaknya.
Sakri lalu menggunakan tangan kanannya untuk memijit-mijit dan
mengusap-ngusap muka dan tubuh
adiknya, menggunakan kesaktiannya untuk menghilangkan Aji Kelabang Kencana yang menyerang tubuh Saritama. Memang selain memiliki Aji Kelabang Kencana
dahsyat, Sakri juga mempelajari aji untuk mengobati dan memusnahkan daya serang Kelabang Kencana.
Seketika itu juga, pulihlah keadaan
Saritama. Segala bengkak-bengkak pada muka dan tubuhnya lenyap
dan ia merasa segar kembali.
Saritama mencela kakaknya. Dengan cepat ia merenggutkan tubuh dari pelukan Sakri dan berkata,
"Kangmas Sakri, mengapa kau
memperlihatkan kelemahanmu lagi?
Jangan kau memalukan aku kangmas!"
"Saritama, adikku yang tersayang.
Bagaimana aku dapat sampai hati
mencelakakan kau yang kukasihi?
Adinda, sekali lagi kupinta kepadamu, menyingkirlah dan jangan melawan aku.
Kelak aku akan minta maaf kepadamu, dinda."
Sakri! Kau hendak merendahkan adikmu sendiri? Kalau kau seorang satria utama, apakah akupun bukan seorang satria Majapahit yang pantang mundur dan tidak kenal takut pula? Hayo, majulah dan pergunakanlah aji kesaktianmu pula.
Saritama bukan anak kecil yang takut akan maut!" Kembali kakak-beradik ini bertempur.
Akan tetapi oleh karena Sakri merasa bimbang, ia hanya berkelahi dengan setengah hati, sehingga pada saat yang tepat Saritama berhasil memasukkan pukulannya yang dengan jitu sekali menghantam kepala Sakri. Bukan main hebatnya pukulan ini, oleh
karena kali ini Saritama mempergunakan aji kesaktiannya yang bernama Bromo ati.
Pukulan ini mempunyai daya bagaikan petir menyambar dan seketika itu juga tubuh Sakri menjadi hangus dan kulitnya rusak bagaikan terbakar api! Sakri bergulingan di bawah dan mengeluh kesakitan, tak berdaya untuk bangun lagi.
"Kangmas.......... kangmas.......... ampunkan aku......" Saritama mengeluh.
"Tidak ada yang harus mengampunkan dan tidak ada yang harus minta ampun, dimas. Kita sama-sama perajurit utama, bukan? Kematian bukan apa-apa, teruskanlah perjuanganmu dengan hati suci. Tak usah kita hiraukan sebab-sebab pertempuran.
Tugas kita hanya berjuang, berjuang
dengan suci. Aku..... aku puas, dinda........" Kemudian ia mengeluh dan tiba-tiba dari mulut keluar keluhan panjang, "Aduh........ adinda Dyah Pitaloka......"
Terkejutlah Saritama mendengar ini.
"Kangmas Sakri...... kau..... kau menyinta Dyah Pitaloka Puteri
Sunda Galuh?" Sakri mencoba untuk tersenyum.
"Dia.......... Dia pujaan kalbu dan sumber kebahagiaanku, dinda.....
sampaikanlah salamku kepadanya dan sampaikan pula bahwa aku telah membela kehormatannya sampai titik darah terakhir......."
Dengan sedih Saritama menyanggupi. Pada saat itu, seorang perwira Majapahit yang berdiri di belakang Saritama, ketika mendengar bahwa Saritama, sebenarnya adalah adik dari Sakri panglima Sunda Galuh itu, menjadi tercengang.
Timbul pikiran jahat dalam otaknya. Ia hendak merebut pahala dan jasa karena membinasakan Sakri, pahlawan musuh yang digdaya itu. Maka, diam-diam ia angkat tombaknya tinggi-tinggi dan cepat sekali ia menusuk punggung Saritama dengan tomak itu!
Saritama sama sekali tidak menyangka akan datangnya bahaya oleh karena kedukaannya membuat ia lupa akan segala. Dan oleh karena segala perhatiannya dicurahkan kepada kakaknya, maka agaknya tombak yang ditusukkan ini tentu akan menembusi tubuhnya! Akan tetapi pada saat itu Sakri yang telah hampir mati itu tiba-tiba meloncat bangun dan menubruk ke belakang Saritama hingga tombak itu tidak jadi menancap di punggung Saritama, akan tetapi tepat memasuki perut Sakri!
Sakri benar-benar digdaya. Biarpun
tubuhnya telah hangus dan tombak itu telah menembus perutnya,
namun ia masih kuasa menyambar maju dan kedua tangannya yang hangus itu mencekik leher perwira itu sampai kedua mata perwira itu melotot dan lidahnya terjulur keluar. Perwira itu binasa dan setelah melepas tubuh perwira yang telah menjadi mayat. Sakri lalu terhuyung-huyung dan jatuh ke dalam pelukan Saritama,
"Kangmas...... sungguh mulia hatimu. Di saat terakhir kau masih sudi menolong jiwaku."
Akan tetapi Sakri tak kuasa berkata banyak.
Ia membuat gerakan agar Saritama
mendekatkan telinganya. Pemuda ini mengerti akan isarat kakaknya, maka ia lalu mendekatkan telinganya di mulut kakaknya. Dan dalam saat terakhir itu, Sakri membisikkan semua aji kesaktiannya kepada adiknya yang terkasih ini. Kemudian, satria utama ini menjadi lemas dan menghembuskan napas terakhir.
Sakri telah gugur bagaikan ratna, yang takkan lenyap dan pudar kegemilangan namanya selama dunia berkembang!
Saritama mencabut keluar tombak yang masih menancap di perut Sakri dan dengan penuh khidmat ia pondong jenazah itu keluar darimedan pertempuran, diikuti oleh pandangan mata perajurit-perajurit dari kedua fihak. Setelah pemuda itu pergi, maka para perajurit itu mulai bertempur pula dengan hebatnya! Dengan hati duka, Saritama membakar jenazah kakaknya sambil berdoa.
Setelah pembakaran jenazah ini selesai, ia lalu maju pula kemedan pertempuran, bukan untuk ikut bertempur, akan tetapi untuk mencari Puteri Sunda Galuh dan menyampaikan pesan Sakri kepada Dyah Pitaloka.
Setelah Sakri gugur, maka kekuatan fihak Sunda Galuh makin lemah.
Sungguhpun demikian, para satria Sunda Galuh yang gagah berani dan pantang mundur itu melanjutkan pertempuran sampai orang terakhir!
Patih Gajah Mada mengerahkan semua pahlawannya dan akhirnya semua pahlawan Sunda Galuh dapat
dibinasakan dalam pertempuran yang maha hebat itu! Darah mengalir bagaikan anak sungai dan mayat bergelimpangan bertumpang-tindih memenuhi lapangan Bubat.


DYAH pitaloka yang mendengar akan
kekalahan fihaknya duduk di dalam kemah dengan pikiran kusut dan hati risau.
Tiba-tiba ia teringat kepada Sakri. Ia tidak percaya bahwa fihaknya akan menderita kekalahan. Bukankah di fihaknya ada Sakri, pahlawan yang gagah perkasa itu?
Tiba-tiba sesosok bayangan yang gesit sekali meloncat masuk ke dalam kemahnya dan tahu-tahu seorang pemuda tampan yang sederhana berdiri di situ dengan sikap hormat.
"Hai, siapa kau yang kurang ajar dan
lancang memasuki tempat ini?" Dyah Pitaloka menegur marah.
"Maafkan hamba, Sang Puteri. Ketahuilah, hamba adalah adik dari seorang panglimamu yang ternama, yaitu Sakri."
"Kau adik Sakri? Dan..... bagaimana dengan dia.....?"
Wajah yang tampan dan agak pucat itu nampak berduka ketika menjawab.
"Kangmas Sakri telah.....gugur dan kedatanganku ini hanya hendak menyampaikan pesannya, yakni bahwa kangmas Sakri meninggalkan salam dan hormat kepada Sang Puteri dan bahwa kangmas Sakri telah menunaikan tugasnya membela paduka sampai pada saat terakhir!"
Dyah Pitaloka terharu sekali dan ia tidak dapat menahan air matanya yang mengucur turun.
Dengan kedua tangannya, ia menutupi mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan sedu-sedan yang keluar dadanya.
"Sakri...... Sakri...... kau pahlawan sejati, satria utama...... terima kasih atas
pengurbananmu yang besar, Sakri......"
Ketika Dyah Pitaloka menurunkan tangan dan memandang, ternyata pemuda yang mengaku sebagai adik Sakri itu telah pergi!
Pada saat itu terdengar berita yang lebih menyayat jantung Dyah Pitaloka. Yang membawa berita adalah ibunya sendiri, permaisuri raja Sunda Galuh. Permaisuri masuk ke dalam kamar puterinya sambil menangis dan dengan suara terputus-putus ia menceritakan bahwa Sang prabu Lingga Buana telah gugur di dalam yuda!
Mendengar ini, kedukaan yang sudah melemahkan jantung Dyah Pitaloka, memuncak hebat dan ia lalu roboh pingsan! Ibunya hanya dapat menangis dan setelah Sang Puteri siuman kembali, kedua orang wanita, ibu dan anak ini, bertangis-tangisan.
"Duhai anakku sayang, belahan nyawa bunda. Alangkah buruknya nasib yang menimpa kita! Bunda tak menyesali untung bunda, karena bunda sudah tua, sudah cukup mengecap nikmat hidup. Akan tetapi kau....... anakku sayang, ibarat bunga sedang mulai mekar....... bunda tak patut mengurbankan puterinya, sekarang terserah kepadamu, anakku. Kau masih muda, pantas menjadi permaisuri yang mulia. Kau menurutlah saja anakku, taatilah kehendak Sang Prabu di Majapahit yang hendak memboyongmu, kau akan menjadi permaisuri yang dimuliakan orang, nak......."
"Duh bunda......." Dyah Pitaloka menangis dalam pelukan ibunya dan untuk beberapa lama tak dapat berkata-kata. Akhirnya, sambil mengeluarkan sebuah keris yang runcing dan tajam, Dyah Pitaloka berkata,
"Ibunda yang mulia, mohon diampunkan segala dosa dan kesalahan ananda.
Alangkah akan hinanya nama ananda, alangkah akan rendahnya kehormatan ananda apabila ananda menyerah kepada musuh!
Budi ramanda dan ibunda yang demikian besar di limpahkan kepada ananda, belum cukup terbalas hanya oleh pengurbanan jiwa ananda, apakah mungkin ananda menyerahkan diri kepada musuh yang berarti menghina dan menodai nama orang tua? Tidak, ibunda, ananda seribu kali lebih suka mati daripada menyerah kepada musuh!
Ibunda, relakanlah, hamba hendak lebih dahulu menyusul ayahanda!"
Berseri wajah permaisuri mendengar ucapan puterinya itu. Saking terharunya, ia tak dapat berkata-kata, dan setelah beberapa kali menelan ludah, baru ia dapat berkata singkat,
"Dyah Pitaloka kau patut menjadi
puteri sesembahan di keraton Sunda Galuh, patut menjadi sari tauladan para wanita!"
Di depan ibunya, Dyah Pitaloka lalu
menyuduk-salira (menusuk diri). Dengan air mata berlinang-linang,
permaisuri dan para emban yang
menangis sedih lalu menyelimuti jenazah Sang Puteri dengan sutera
hijau. Kemudian permaisuri lalu mengajak para emban untuk mencari jenazah prabu Lingga Buana, suaminya.
Diantara ribuan mayat yang malang
melintang, akhirnya Sang Permaisuri dapat pula menemukan jenazah suaminya terhantar di atas tanah dengan sebatang tombak masih menancap di dadanya.
Tombak itu merupakan tanda bahwa suaminya telah gugur dengan gagah-berani.
Setelah menubruk dan menangisi jenazah suaminya, Sang Permaisuri lalu mencabut kerisnya dan membunuh diri di dekat suaminya!
Para selir dan emban yang mengiringkan Permaisuri melihat hal ini lalu meniru tindakan Sang Permaisuri. Mereka menggunakan senjata masing-masing untuk membunuh diri hingga bertambah pula tubuh manusia memenuhi lapangan Bubat! Sebelum senjakala, matahari telah menyembunyikan diri siang-siang di belakang awan tebal, seakan-akan Sang Batara Surya sendiri tidak
tahan lebih lama menyaksikan akibat mengerikan dari perbuatan manusia yang bodoh dan dungu, manusia yang tak segan-segan untuk saling bunuh hanya karena memperebutkan sesuatu yang kosong!
Ketika Sang Prabu Hayam Wuruk
mendengar akan peristiwa yang amat menyedihkan itu, bukan main
duka dan menyesalnya. Padahal Sang Prabu Hayam Wuruk yang telah amat rindu dan ingin sekali bertemu dengan calon permaisurinya, telah menyusul ke Bubat. Tidak tahunya, ketika tiba di Bubat, Sang Prabu hanya bertemu dengan layon Sang Puteri.
Perih dan sakit hati Sang Prabu Hayam Wuruk melihat jenazah yang telah diselimuti sutera hijau seluruhnya itu.
Tanpa dapat dicegah lagi, Sang Prabu lalu melangkah maju dan menggunakan kedua tangannya untuk menyingkap sutera itu dari muka jenazah Dyah Pitaloka.
Naik sedu sedan dari dalam dada yang menyumbat kerongkongannya ketika Sang Prabu menatap wajah yang tetap ayu, tetap gilang-gemilang, dengan dihias senyum manis itu.
Dalam pandangan Sang Prabu, wajah Dyah Pitaloka seakan-akan masih hidup dan senyum itu seperti sengaja ditujukan padanya.
Tak tertahan pula rasa duka dan terharu yang menggelora dalam kalbunya dan berjatuhanlah air mata Sang Prabu membasahi wajah Sang Ayu yang telah tak bernyawa pula itu.
"Aduhai adinda juita! Adinda pujaan kalbu, mustikaningrat yang cantik jelita, alangkah kejamnya nasib menimpa kita! Telah menjadi kembang-mimpi kanda saat pertemuan kita yang telah kurindu-rindukan.
Akan tetapi, setelah kita bertemu, kau telah pergi.......... aduhai adinda, adinda......"
Para pengiring Sang Prabu yang
menyaksikan kedukaan Prabu Hayam Wuruk, merasa terharu sekali dan menumpahkan air mata dalam belasungkawa. Juga Patih Gajah Mada diam-diam merasa menyesal telah terjadi perang yang mengakibatkan tewasnya Sang Puteri yang sedianya akan mendatangkan bahagia maha besar bagi junjungannya itu. Ia lalu melangkah maju dan sambil menyembah berkata,
"Duh gusti pujaan hamba! Ingatlah bahwa segala peristiwa yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi, adalah kehendak Hyang Agung dan kita manusia hanyalah sekedar menjalankan kodrat belaka."
Maka sadarlah Prabu Hayam Wuruk dari pengaruh duka-nestapanya yang maha hebat.
Dengan kedua tangan gemetar Sang Prabu menyelimutkan kembali sutera hijau itu di atas muka Dyah Pitaloka, lalu memerintahkan agar jenazah prabu Lingga Buana seanak-isteri mendapat penghormatan selayaknya bagaikan keluarga raja yang terhormat serta jenazah mereka dibakar menurut upacara yang telah lazim.
Kemudian Sang Prabu memerintahkan kepada para ahlinya untuk merawat mereka yang terluka dalam perang itu, baik perajurit-perajurit Majapahit sendiri maupun Sunda Galuh. Semua diperlakukan sama dan
tak boleh dibeda-bedakan.
Sesungguhnya, sebelum Sang Prabu
Hayam Wuruk meminang Dyah Pitaloka, Sang Prabu telah tertarik akan kecantikan Puteri Susumnadewi, puteri Raja Wengker.
Oleh karena itu, setelah perjodohan dengan Dyah Pitaloka gagal, Sang Prabu teringat kembali kepada Puteri Susumnadewi dan akhirnya Sang Prabu melamarnya sebagai permaisuri.
Tak perlu diceritakan lagi betapa girang hati Wijayarajasa oleh karena dengan sendirinya derajat serta kedudukannya meningkat tinggi sebagai mertua raja.

SELESAI

Back to posts
This post has no comments - be the first one!

UNDER MAINTENANCE
Browsser [ claudebot ]
IP [ 3.12.41.106 ]
Negara [ ]
Online [ 1 ]


U-ON

OTHER LANGUAGE
| | | | |

Pengunjung Harian [ 1 ]
Total Pengunjung [ 10858 ]
KEMBALI KE BERANDA